MALAIKAT BERSAYAP HITAM



Setiap orang punya mimpi tanpa peduli apakah mimpi itu utuh atau rapuh. Entah bisa mewujudkan atau tidak, semua orang tetap punya mimpi, begitu juga dengan aku. Aku selalu bermimpi untuk menemukan celah pada hamparan langit itu, terbang mencari akhir dari langit yang tak pernah berakhir, tapi apakah aku punya sayap untuk terbang? Menyentuh langit terendah pun aku cukup hina.

Aku pun bersenandung dengan langkah yang tidak pernah tahu dimana sesungguhnya aku berpijak. Dimana mimpi? Dimana hati? Aku ingin mencari tapi terselimuti kabut kehampaan. Hingga pandangku terusik sebongkah hati. Sebongkah hati, kenapa kau tampak begitu sepi? Apakah mati? Tidak, kau hanya terhanyut mimpi, terlelap dalam dekapan kehampaan. Benak ini ingin berlalu, tapi sebongkah hati itu tunjuk aku di sisinya. Sebongkah hati itu menjanjikan seutuh mimpi. Lihat, aku menggenggam seutuh mimpi! Selamat tinggal sepi... aku punya seutuh mimpi!

Sebongkah hati itu ingin aku mendekapnya. Sayang, aku tidak punya sayap. Sebongkah hati itu memberikan seutuh mimpi tapi aku harus memberikan apa? Sebongkah hati itu menjadi dingin. Seutuh mimpi ini dalam genggamanku tapi aku harus mendekap dengan apa? Batinku berbisik lirih, berikan aku sayap, berikan aku sayap, berikan aku sayap, akan ku ganti seutuh mimpi ini dengan sayap asalkan sebongkah hati itu bisa kudekap. Reruntuhan sayap dari langit pun berjatuhan, aku pun merangkainya. Mengenakan sayap itu pada sebongkah hati yang hampir mati.

Perlahan sebongkah hati itu bersinar,
menyilaukan.
Sebongkah hati itu melayang,
menyebalkan.
Sebongkah hati itu terbang,
menghilang.

Tidaaaaaaak! Aku tidak mau sendiri lagi! Aku berteriak pada hamparan langit sekuat batin ini meronta. Aku memejamkan mata, memeluk lutut yang gemetar, hembusan angin terasa begitu pilu. Batin ini terus meronta,

Sesungguhnya aku yang ingin memiliki sayap, bukan sebongkah hati itu
Sesungguhnya aku tak rela sebongkah hati itu pergi, tinggalkan aku sendiri lagi
Sesungguhnya aku ingin sebongkah hati itu kembali.

Sejenak langit tampak membisu tapi angin yang semilir terasa lebih biadab. Rambutku yang panjang terurai menghalangi lapangan pandanganku. Tapi di situ...
Sebongkah hati itu kembali!
Punggung ini terasa mengusik
Aku menoleh ke belakang
Aku tidak percaya! Sayap yang elok tumbuh dari punggung ini
Aku punya sayap!

Aku pun terbang perlahan meninggalkan sebongkah hati itu sendiri. Aku menggenggam seutuh mimpi dengan erat. Aku tidak peduli sebongkah hati itu sendiri, sepi atau mati. Aku hanya ingin menyentuh langit dengan sayap ini. Aku hanya ingin mencari mimpi dengan sayap ini. Aku hanya ingin mencari akhir dari langit yang tak berakhir itu sendiri. Hanya sendiri. Dari tempatku melayang aku menoleh ke belakang

Kepakan sayap terhenti
Jiwaku pilu
Sebongkah hati itu...
Sendiri, sepi ataukah mati?
Selayak aku terdahulu
Serupa aku yang berjalan dalam kehampaan
Tanpa sayap

Aku merasa hina, aku tidak boleh meninggalkannya sendiri. Aku pun mengepakkan sayapku lagi. Aku berjanji akan mengambil sebongkah awan untuk menghangatkannya. Sayap ini tidak akan kugunakan untuk mencari mimpiku. Aku ingin menggunakan sayap ini untuk mengganti seutuh mimpi yang pernah sebongkah hati itu berikan. Aku pun mengepakkan sayap ini dengan sekuat tenaga, tapi kenapa hanya untuk menggapai awan saja sayap ini terlalu lemah? Apakah terluka? Aku pun melihat sayap ini

Aku membayangkan mengenakan sayap yang berkilauan
Tidak.
Sayap yang tumbuh dari punggungku
Jauh. Jauh dari kemilau
Sayap hitam
Sayap yang tumbuh dari punggungku adalah sayap hitam

Jiwaku pun semakin melemah. Langit memang terdiam tapi terasa semakin kelam, tunjuk aku pergi jauh darinya. Hembusan angin pun menghempasku. Aku telah mempunyai hati yang tulus untuk menjaganya kembali tapi kenapa sayap ini hitam?

Aku hanya malaikat bersayap hitam.

Aku pun terjatuh merapuh pada bentangan kehampaan
Sayap hitam ini pun perlahan lapuk
Sebongkah hati itu mati
Kulihat seutuh mimpi yang masih aku genggam
Bukan utuh
Seketika rapuh

Aku pun menangis seraya mengais rapuhan mimpi yang tersisa. Aku pun berlari sekuat tangisanku dengan kamilau rapuhan mimpi yang masih ada dalam genggaman ini. Semua membenci malaikat bersayap hitam. Entah langit, entah hembusan angin semua mengusir aku dari bentangan itu. Aku pun menemukan terowongan yang gelap. Sesungguhnya aku takut pada kegelapan tapi aku ingin bersembunyi, aku pun berlari ke dalam terowongan itu. Menghindari langit yang kelam, menjauh dari hempasan angin. Kemilau rapuhan mimpi itu menjadi satu-satunya sinar yang bisa memanjakan mata ini. Aku pun terus merangkai rapuhan mimpi itu, berharap bisa menjadi sesuatu yang utuh. Setelah utuh, batin ini akan memohon agar sebongkah hati itu kembali hidup, meski aku harus mengorbankan mimpiku untuk menyentuh langit. Aku akan merelakannya untuk sebongkah hati itu. Aku pun terus menyusun rapuhan mimpi itu. Mendekap enggan untuk berhenti. Terhunus waktu merangkai mimpi yang pilu.

Dua musim telah terlewati
Takkan peduli sejauh apa langit telah berganti
Entah biru yang mahasempurna
Atau gumpalan awan dengan garis silver
Aku takkan terkalahkan waktu
Rapuhan mimpi ini akan kurangkai sampai menjadi seutuh mimpi
Selamanya

Perasaanku yang begitu dingin bahkan hampir membeku perlahan terasa hangat. Perasaan yang pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasakan reruntuhan sayap-sayap yang tak bisa kulihat warnanya. Perlahan berjatuhan dari tempatku bernaung. Aku pun memejamkan mata. Aku mulai merasakan dekapan sayap yang begitu hangat. Perasaan yang pernah hilang namun terasa lagi. Aku pun membuka mata dan melihat ke belakang. Terlihat seorang laki-laki bak seorang pangeran. Lelakiku?

Wajah yang putih tanpa hina
Tatapan yang begitu lemah
Senyum yang hangat
Menjanjikan aku pada bentangan langit itu
Rasa pada suatu masa yang enggan aku tinggalkan

Aku hanya terpaku pada wajahnya. Akan kulupakan rapuhan mimpi itu. Pangeran ini tampak begitu berkilau. Mengangkat raga ini dari kegelapan yang hina. Pangeran ini malaikatku. Malaikat ini mulai mengepakkan sayapnya tapi aku tetap terpaku pada wajahnya, masih ingin mencari sesuatu yang pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan yang pernah ada ”waktu itu”, apakah cinta? Luka? Hampa? Entahlah, malaikat ini mengganti ”waktu itu” dengan ”waktu ini” membawa raga tanpa sayap ini mencari akhir dari langit yang tak pernah berakhir. Seutuh mimpi.

Malaikat ini menggenggam tanganku begitu erat seakan enggan melepas raga yang hina ini. Aku hanya terpaku pada wajahnya yang tulus meski sesekali melihat awan yang kulintasi. Aku belum pernah terbang setinggi ini tapi kenapa aku merasa pernah merasakan perasaan serupa ini? Entahlah, aku punya mimpi menyentuh langit, malaikat ini punya sayap untuk mewujudkan mimpiku. Hingga saat ini hanya itu yang aku tahu.

Di sekelilingku terdapat gumpalan awan yang seolah ingin tersentuh tapi saat kusentuh aku tidak dapat mengambilnya.

Keindahan yang hampa.

Aku pun kembali melihat malaikatku, dia tampak tersenyum bahagia melihat tingkah lakuku. Aku pun menatap matanya begitu dalam, tersenyum bahagia. Malaikatku menarik tangan yang lemah ini untuk mendekat ke arahnya. Kami saling berpandangan begitu dalam. Tersenyum bahagia. Mata itu... aku pernah melihatnya tapi dimana? Kapan? Ingatan yang hilang tapi begitu dalam. Kita masih berpandangan dengan tatapan dalam yang begitu ingin menyusuri, tangan kirinya mendekap pinggangku, aku merebahkan raga yang lelah menanti ini pada pundaknya, pundak yang sama, entahlah, aku merasa pernah menitipkan pasrah pada pundak ini. tapi dimana? Kapan? Ingatan yang hilang tapi begitu dalam. Aku pun tetap bersandar tanpa peduli sebanyak apa tanya bercerita. Tangan kanannya membelai rambutku. Mata kami tidak putus untuk bertatapan. Wajahnya mendekat. Mata ini kupejamkan pelan. Bibirnya yang lembut pun terasa menyentuh bibirku. Hangat. Semakin dalam. Apakah ini yang pertama? Bukan, aku pernah merasakan ini sebelumnya. Apakah ini yang terakhir? Iya, aku ingin menjadikan malaikat ini sebagai kisah terakhirku. Malaikat ini pangeranku.

Perlahan sekelilingku terasa berbeda, bukan lagi awan tapi biru yang maha sempurna. Perfect blue. Malaikat ini membawaku terlalu tinggi. Bahkan lebih tinggi dari apa yang pernah aku impikan. Tatapan mata yang tidak pernah putus. Genggaman tangan yang begitu erat. Elok wajahmu yang tidak pernah memudar. Kita tidak akan pernah terpisah khan? Senyum. Senyum itu selalu memberi jawaban. Malaikat ini tidak akan pernah melepasku. Keyakinanku dan takdirku.

Entah kenapa hembusan angin yang biadab merusak keindahan ini. Terlihat kabut menghalangi pandangan ini. Kabut kehampaan. Aku pernah merasakan ini tapi entahlah aku mulai resah. Akankah terpisah? Di sela kabut itu aku melihat dekapan sayap hitam yang begitu kuat mengepakkan sayapnya.

Sayap hitam yang kuat itu mendekap malaikatku
Seekor iblis.

Kenapa sudah sejauh ini aku tak jua memiliki kemilau sayap untuk mendekap orang yang aku cintai? Perlahan genggaman erat tangannya melemah. Aku berusaha menelusuri wajahnya di tengah kabut

Masih...
Wajah yang putih tanpa hina
Tatapan yang begitu lemah
Senyum yang hangat
Tapi kenapa aku terlepas? Ataukah terhempas?

Perlahan tanganku terlepas, aku mulai merasa tubuhku melayang bodoh pada kabut kehampaan. Aku pernah melupakan perasaan ini tapi membuang semua ingatan ini hanya menciptakan hampa. Aku mulai berusaha mengingatnya

Wajah, tatapan dan senyumnya itu
Sesungguhnya milikku terdahulu
Dekapan, mimpi dan malaikat ini
Sesungguhnya milikku terdahulu
Terlepas, terhempas dan hampa
Sesungguhnya yang malaikat ini lakukan terdahulu
Cinta.
Luka.
Hampa.
Benci.
Mati.
Perasaan yang kau ajarkan dulu
Cinta pertamaku.

Meski tahu aku tidak punya kemilau sayap untuk mendekapmu
Meski tahu kau sulit terlepas dari dekapan sang iblis
Meski tidak tahu perasaan apa yang aku rasakan ini
Aku ingin berusaha terbang menyelamatkanmu

Aku pun menumbuhkan kembali sayap hitam di punggung ini, aku tahu sayap hitam ini bukan apa-apa tapi aku tidak punya apa-apa selain sayap hitam ini. Sejauh apa pun kau melepasku kau pernah membawaku terbang setinggi ini. Seutuh mimpi. Sejauh apa pun kau terjatuh, merapuh, sebisa mungkin aku akan menangkapmu. Meski nanti aku harus tahu. Kau hanyalah malaikat bersayap hitam yang berulangkali membodohiku dalam dekapanmu. Elok yang semu. Salah yang indah.

Aku pun terbang ke atas dengan sayap hitam yang lemah. Iblis itu terlalu kuat membawamu menjauh dariku. Iblis itu terlalu kuat mendekapmu, sementara aku tidak memiliki sayap untuk mendekapmu. Tanganmu, aku melihat tanganmu bergerak perlahan meski terhalang oleh kabut kehampaan, apakah ingin menggenggamku kembali? Tidak, tangan itu acungkan aku pergi jauh darimu. Jiwaku melemah begitu juga dengan sayapku. Sejuta tanya bercerita

Apakah dekapan iblis itu terlalu hangat untukmu?
Hingga takkan kembali terbang bersamaku?
Apakah kau tidak ingin aku terlalu jauh berharap?
Dengan kepakan sayap yang terlelap?
Apakah kau melepasku?
Ataukah menghempasku?
Kenapa kau mengulangi kisah terdahulu?

Ragaku yang hina ini pun terjatuh perlahan dari sisi mereka. Terakhir kali, aku melihat kau masih menatapku dengan tatapan yang kurindu itu tapi kau membiarkan aku terjatuh merapuh dari mimpi yang begitu tinggi ini, kau tahu? Aku terjatuh lebih tinggi dari seharusnya. Kau malaikat. Kau bejat.

Aku tetap berusaha agar tidak terjatuh terlalu tinggi. Kusentuh awan tapi sekali lagi hampa. Semua ini indah yang kau rangkai tapi indah yang begitu hampa. Aku pun pasrah pada hembusan angin entah membawa raga yang hina ini pada bentangan hampa apalagi. Mata ini terpejam mengingat semua kenangan pedih yang pernah ingin aku lupakan.

Cinta pertamaku
Kau beri seutuh mimpi
Kusebut kau malaikat
Kusebut kau pangeran
Kusebut kau mahasempurna
Kusebut kau kisah abadiku
Tapi berulangkali aku tidak bisa mendekapmu
Pantas, jika kau melepasku berulangkali?

Terkapar tanya, tersadar raga ini telah terjatuh pada bentangan kehampaan, jauh dari langit yang mahasempurna. Saat itu langit menyajikan lukisan oranye dengan garis silver yang begitu tipis. Senja ini akan selalu terkunci di hati ini.

Mengunci janji pada sebongkah hati itu yang telah aku ingkari
Sebongkah hati yang memberi seutuh mimpi
Tapi pernah terselip ingkar
Untuk meninggalkannya menyentuh langit
Inikah dosa dalam raga yang hina ini?
Langit tak akan pernah bercelah untuk malaikat bersayap hitam
Untuk malaikat yang ingkar

Aku pun terdiam menunggu langit berganti kelam. Berharap malam memberi mimpi baru untukku.

Reruntuhan sayap hitam pun jatuh di sekelilingku. Aku terperanjat dari tempatku terdiam, kehangatan sayap ini pernah aku rasakan. Ini adalah reruntuhan sayap malaikatku, aku merindukannya, apakah malaikatku akan baik-baik saja? Apakah malaikatku akan merindukanku? Iya, dia baik-baik saja. Tidak, dia tidak akan merindukanku.

Aku pun menggenggam erat reruntuhan sayap hitam ini. Genggaman rindu yang berubah jadi kebencian. Begitu benci. Reruntuhan sayap dalam genggaman ini pun remuk merapuh. Serapuh elok yang pernah kau tawarkan. Serapuh mimpi yang aku genggam. Kita sama, sebagai malaikat bersayap hitam, pernah cinta, pernah ingkar tapi kau malaikat bersayap hitam yang maha sempurna. Jauh lebih hitam dari sayap pada punggungku.

Aku pun kembali berjalan pada bentangan kehampaan. Dimana hati? Dimana mimpi?
Mati.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "MALAIKAT BERSAYAP HITAM"

Posting Komentar

blog ini memiliki kutukan, jika anda tidak memberikan komentar setelah membaca blog ini, maka anda akan mengalami sembelit 7 turunan... makanya komen yax! *fufufu... tertawa licik*