GEJOLAK OMBAK







Hatiku hanya punya satu gejolak. Otakku hanya punya satu pikiran. Jiwaku hanya punya satu kemuliaan. Tapi bagaimana jika satu dipengaruhi oleh 2 hal? Elokmu dan kesempurnaannya. Kita bertiga terpisah oleh jarak. Kadang mendekat, kadang menjauh. Apakah rapuh? Tidak, kau dan dia menciptakan gejolak dalam hatiku.


Malam ini aku terhanyut oleh bulan purnama yang tampak kemilau pada lukisan malam. Bahkan bintang yang bisa menghasilkan energi cahaya dengan sendirinya, hanya karena jarak, terlihat kalah telak oleh sinar bulan yang sesungguhnya hampa. Sang bulan hanya mengemis cahaya pada matahari, tapi jika sang bulan meniada, malam seakan redup.


Meskipun penuh kepalsuan, sinar bulan tampak lebih elok di mataku. Aku tidak perlu memicingkan mata untuk melihat sang bulan. Aku mencintai keelokan yang sederhana. Berbeda dengan sinar matahari yang sesungguhnya berasal dari energinya sendiri tapi keelokan sinarnya yang mahasempurna membuat aku merasa tidak pantas untuk melihatnya. Terlalu terik. Aku enggan mencintai elok yang sulit kujangkau.

Sang bulan
Begitu sederhana
Tampak bulat sempurna
Tapi kenapa kau serupa merana di atas sana?
Aku mengingat raga yang elok dengan sorot mata yang terluka
Sang bulan itu selayaknya engkau...
Cinta pertamaku.


Sang mentari
Setia menyinari pasrah langkahku
Tampak tegar tanpa sentuhan
Tapi elokmu terlalu sempurna
Apa ragaku yang hina tak pantas untukmu?
Aku mengingat raga yang tegar tapi sulit kujangkau
Sang mentari itu selayaknya dia...
Cinta terakhirku.


Pagi yang bejat. Berturut-turut aku tidak merasakan terik mentari pagi. Derasnya hujan senantiasa mengaburkan pandanganku apalagi dengan mata yang menyipit bodoh, aku tak bisa lagi melihat langit dengan lukisan biru yang sempurna, hanya gumpalan awan abu-abu tanpa garis silver, mendung yang mahasempurna. Bahkan hari demi hari pelangi tidak muncul untuk menggantikan sinar matahari yang mulai enggan menyinari pasrah langkahku. Kenapa pagi ini lukisan langit tanpa matahari terasa menyakitkan? Kenapa harus hari ini? Saat dia beranjak pergi meninggalkanku, berjalan dengan ketegarannya dan bersabda, aku bukan apa-apa lagi baginya. Eloknya terlalu sempurna, sulit kujangkau. Aku pun menekuk jari telunjukku untuk menghapus air mata yang mulai membasahi pipiku. Cukup. Batinku meronta. Sudah cukup semalam aku menangisi ketegarannya tanpa aku. Tanpa aku dia tetap sempurna. Ya, tanpa aku.

Malam yang sepi. Aku berjalan pada tepian ombak untuk melihat sinar bulan lebih jelas. Aku menyilangkan kedua tanganku dan mengusap-usap kedua lenganku untuk menghangatkannya. Desir angin yang dingin menyibakkan rambutku yang tergerai. Aku pun menikmatinya, mencoba bernapas lebih dalam dan menghembuskannya dengan kencang melalui mulutku. Langkahku pun terhenti. Deburan ombak tampak lebih bergejolak dari biasanya. Hari ini bulan purnama. Gejolak ombak saat bulan purnama. Tampak lebih hebat bukan?

Konon pasang surut air laut dipengaruhi oleh bulan bukan matahari. Bukan bentuk atau energi yang lebih besar yang dapat mempengaruhi pasang surut air laut. Pasang surut air laut hanya terpengaruh oleh jarak. Ya, hanya jarak. Mendekatlah... maka akan terasa gejolak yang berbeda.


Aku pun terus berjalan dan menghitung entah berapa purnama yang telah aku lewati untuk melupakan ketegarannya dan menanti kembalinya sinar mentari. Tidak akan cukup waktu untuk mengatakan sangat banyak, sangat banyak waktu yang aku habiskan untuk melupakan dan menantinya kembali. Tapi cukup waktu untuk mengatakan bahwa dia sempurna, tanpa aku. Semakin aku mengingatnya, langkahku terasa semakin enggan melewati pasir dan kerikil ini. Dulu aku selalu mengeluh kerikil ini mengganggu perjalananku dan selalu mengeluh kerikil ini membuat kakiku merasakan sakit dan tidak nyaman. Tapi kenapa sekarang aku tidak mengeluh seperti itu lagi? Mungkin karena rasa sakit di hati ini menciptakan kehampaan sekujur sarafku agar tidak merasakan rasa sakit yang lebih menyakitkan dari hati yang telah menjadi serpihan. Serpihan karena ketegarannya tanpa aku, kesempurnaannya tanpa aku. Kemilau yang sulit aku jangkau.

Apa dia tahu?
Serpihan hati bukan keutuhan
Aku tidak akan bisa mencintai siapa-siapa lagi
Karena hati ini telah menjadi serpihan
Lapuk meremuk.
Apa dia tahu?
Dia adalah cinta terakhirku.


Pasang air laut pun menciptakan deburan ombak yang lebih bergejolak, menghantam apa pun yang ada di sekelilingnya. Serupa rasa cinta yang membuat kita memberontak terhadap segalanya. Tahu kenapa? Itu karena sang bulan mendekatinya terlebih dulu, menampakan keelokannya yang sederhana pada hamparan lautan. Sang bulan yang mendekati terlebih dulu.

Saat aku membisu, langit yang terdiam tampak menawarkan sang bulan yang begitu elok untuk mendekatiku, bahkan aku dapat merasakan kehangatan sinar bulan purnama yang seolah mendekatiku.


Menggantikan sinar matahari yang dulu mengahangatkanku
Hangat yang menyusun serpihan di hatiku menjadi sesuatu
Sesuatu yang kau sebut
Rasa pada suatu masa.


Apakah salah saat seseorang menawarkan keelokannya dan kita bergejolak? Seharusnya aku tahu, aku mulai muak bercerita tentang keelokan, kasih, dan berujung pada kehampaan.

Seharusnya aku tahu.
Tapi bagaimana jika kau yang menawarkan keelokanmu padaku?
Begitu dekat
Entahlah...
Sorot matamu yang terluka
Serpihan hatiku yang terluka
Apakah kita bisa saling menjaga?
Sekali lagi
Melebihi kisah kita terdahulu?
Apakah kita bisa saling menjaga sekali lagi?
Cinta pertamaku.


Deburan ombak mengacaukan aliran perasaanku
Sementara elok telah menjerat keraguanku
Rasa muak dalam diriku terkapar
Aku bergejolak...
Terhanyut dan kembali bergejolak
Kau mendekat, kau kembali menjadi segalanya bagiku
Cinta pertamaku.

Hari ini masih seperti kemarin. Matahari tak jua menampakkan sinar kehangatannya, masih berkuasa mendung selayaknya kehilangannya telah terbendung. Apakah aku masih menangisinya? Tidak, aku akan berlari pada malam, mengadu pada bulan dan tersenyum memandang keelokannya.

Aku telah mengganti cinta terakhir dengan cinta pertama
Kehilangannya membuatku mendapatkanmu kembali.

Malam ini pun aku kembali menanti sinar bulan yang begitu kupuja. Tapi apa? Sinar bulan tampak begitu redup. Bulan mati. Bulan purnama telah berakhir. Aku pun terduduk lemas tapi pandanganku masih menerawang kuat sejauh apa pun untuk mencari dimana sinar bulan yang kurindukan. Bersenandung pilu.

Keabadian yang mati.
Bereinkarnasi sebagai kehampaan.
Bahkan tanpa reruntuhan sinar...
Dead moon. Bulan yang bejat.

Serupa...
Aku yang mencintaimu sekali lagi
Tapi kenapa kau meninggalkanku sekali lagi?
Cinta pertamaku.

Deburan ombak tampak enggan bergejolak, tak ada lagi bulan purnama yang menggodanya. Apakah matahari bisa membuatnya bergejolak? Bodoh. Matahari telah bersembunyi pada singasananya. Termakan waktu.

Aku pun kembali terkurung dalam kegelapan
Desiran angin malam yang dingin tak terasa olehku
Di sini...
Di dalam hati ini...
Dingin terasa jauh lebih menyakitkan
Melumpuhkan sekujur saraf
Hatiku membeku
Bahkan hancur seketika
Mencair menjadi riak gelombang
Kembali bergejolak
Apakah karena keelokanmu?
Tidak!


Kesempurnaannya...
Yang angkuh.
Keelokanmu...
Yang palsu.
2 yang mendekat
Memanggil satu gejolak...

Gejolak kebencian.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "GEJOLAK OMBAK"

Posting Komentar

blog ini memiliki kutukan, jika anda tidak memberikan komentar setelah membaca blog ini, maka anda akan mengalami sembelit 7 turunan... makanya komen yax! *fufufu... tertawa licik*