KENAPA AKU MENYUKAI HUJAN



Ada dua alasan kenapa aku menyukai hujan. Pertama, hujan menyamarkan bayanganku yang selalu menatapnya. Kedua, hmmm, kau harus mendengarkan ceritaku terlebih dulu.
Aku berkata pada peri-peri kecil di sekitarku yang tampak murung karena sayap kecilnya basah kuyup oleh hujan. Mereka mencoba berulang kali mengepakkan sayapnya tetapi gagal. Aku pun tertawa kecil, dan tawaku terhenti. Bayangan seorang lelaki di seberang jalan, yang wajahnya seperti malaikat nampak bercahaya di tengah hujan. Lelaki inilah yang akan aku ceritakan pada peri-peri ini. Lalu, hujan nampak lebih deras dari sebelumnya. Inilah alasan kenapa aku menyukai hujan. Menyamarkan bayanganku, yang selalu menatapnya. Dia yang selalu berdiri di seberang jalan setiap hujan, wajah yang tidak tampak jelas, tapi aku melihatnya samar seperti malaikat.

Dia selalu berdiri di seberang jalan, selalu saat hujan, bukan agar kau bisa menyamarkan bayanganmu. Justru dia yang ingin menyamarkan bayangannya. Mengawasimu.

Salah satu peri, peri imajinasi, berkata padaku. Aku hanya tersenyum. Apakah dia juga diam-diam menyukaiku? Apakah ini alasan keduaku menyukai hujan? Hujan menyamarkan bayanganku, sehingga dia bisa diam-diam mengawasiku? Entahlah...

Bisakah kau menciptakan debu peri di sekelilingku? Agar aku nampak lebih bercahaya untuknya. Bisakah kau menebar debu peri di kedua kakiku? Agar aku bisa terbang ke arahnya lalu menyampaikan perasaanku. Karena aku, tidak memiliki sayap.

Peri-peri kecil itu mengepak-ngepakkan sayapnya sekuat tenaga. Tapi sayapnya yang basah kuyup tak bisa mengepak. Tak juga bisa memunculkan kilau debu peri. Namun salah satu dari mereka, peri hujan, berbisik padaku.

Sayap kami tak bisa mengepak ketika kehujanan. Tak juga debu peri. Apakah kau benar-benar ingin menyampaikan perasaanmu? Hari ini hujan, aku memiliki kekuatan radar neptunus, yang membuatmu bisa membaca perasaan dalam pikirannya. Hanya dengan menutup mata, membuka mata hati.

Aku mengangguk, peri hujan pun memutari kepalaku berulang kali, hingga tercipta percik kilauan biru, yang setiap aku mengerjap, terasa masuk ke dalam mataku. Lalu ke mata hatiku. Hujan pun semakin deras, terdengar mengetuk-ngetuk jendela di depanku lebih sering. Lebih keras. Berlomba dengan denyut jantungku. Lebih sering. Lebih cepat. Apakah ini saatnya aku menyampaikan perasaanku? Aku pun memejamkan mata.

Kamu siapa? Apakah kamu juga berteman dengan peri-peri? Kamu tampak bercahaya dari sini, hebat sekali peri-peri milikmu. Bisa menebar debu peri, bahkan ketika hujan.

Aku membuka mataku. Menatapnya. Di tengah hujan, samar, dia nampak tersenyum. Dia mendengarku! Aku pun menutup mata lagi. Membuka mata hati. Mendengarnya.

Aku siapa? Aku makhluk yang suka menatapmu. Suka sekali. Tidak akan cukup waktu untuk mengatakan sangat suka. Tapi tidak, aku tidak datang bersama peri-peri. Aku sendiri.

Aku benar-benar tidak percaya. Dia juga menyukaiku? Setiap hari, saat hujan di malam hari aku selalu melihatnya di seberang jalan. Apakah dia datang hanya untuk melihatku? Aku benar-benar bahagia. Tapi, jika tanpa peri-peri dia bisa bercahaya, siapakah dia? Malaikat? Tidak, malaikat tidak akan menemuiku. Karena aku, tidak memiliki sayap.
***
Di musim hujan ini, hari demi hari pun berlalu, hujan setiap hari, setiap malam tanpa henti. Membuat aku semakin menyukai hujan. Juga, semakin menyukainya. Hingga hari ini, peri hujan mengingatkanku, ini adalah hari terakhir musim hujan. Aku pun khawatir, bagaimana jika tidak akan ada lagi hujan di malam hari? Apakah dia akan berhenti mengunjungiku? Meski hanya bertatapan dari seberang jalan. Hari ini aku harus membuatnya menyampaikan perasaannya. Dia datang setiap hari, mengatakan suka menatapku. Dia pasti menyukaiku khan? Aku pun menggunakan radar neptunus.

Hari ini adalah hari terakhir di musim hujan. Kenapa kau hanya datang saat hujan malam hari? Apakah esok, hari pertama, di musim panas, kau akan mengunjungiku? Kenapa kau berkata suka menatapku, tapi tidak melangkah untuk menatapku dari dekat? Kenapa?

Aku berharap kali ini dia akan melangkah menyeberangi jalan. Membuka jendela di sampingku berdiri. Menatapku. Dan tentunya, menyatakan perasaannya. aku sudah lelah menunggu di sepanjang musim hujan. Biarkan aku bertugas dalam penantian, dan aku harap dia bertugas dalam pernyataan.

Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Tidak akan cukup waktu untuk mengatakan, aku sangat menyukaimu. Tapi aku, tidak akan melangkah mendekatimu. Tidak sekarang, apalagi esok, terlebih lagi selamanya. Aku menyukaimu, tapi tidak untuk melangkah mendekatimu, mendekapmu. Itu karena kita berbeda. Perbedaan itu membuat kita tidak akan bisa melangkah bersama. Karena aku, aku adalah seorang malaikat bersayap, yang tidak mungkin bersamamu, malaikat tanpa sayap.

Aku tersentak. Kata-kata ”tanpa sayap” selalu membuat aku tidak berdaya. Tapi aku berusaha menyangkal.

Bohong! Kau bukan malaikat bersayap! Jika kau adalah malaikat bersayap, kau tidak mungkin bisa bertahan di tengah hujan. sayap malaikat tidak akan bisa mengepak di tengah hujan. malaikat bersayap tidak menyukai kegelapan malam! Katakan siapa kau sebenarnya dan apa maumu?!

Aku mulai menangis. Lelaki yang kusebut ”malaikat” itu tersenyum penuh kemenangan. Senyum yang tak samar bahkan di tengah hujan yang semakin deras. Perlahan, tampak sayap mengepak dari punggungnya. Sepasang sayap yang samar oleh kegelapan. Atau lebih menyamarkan kegelapan di sekitarnya?

Berhentilah menangis! Dia adalah malaikat bersayap hitam! Bukan malaikat bersayap yang lahir dari bintang malam. Tapi dia malaikat bersayap hitam, yang lahir dari lubang hitam angkasa! Dia akan menyerap sebongkah hati yang tulus mencintainya. Jangan menangisinya! Tangismu adalah kekuatannya!

Peri-peri di sekitarku berteriak panik, sementara aku sudah terlanjur menangis karena tulus mencintainya.

Kau tahu, kenapa aku sangat suka menatapmu? Karena aku tahu, meski kau tidak bersayap, kau memiliki sebongkah hati yang tulus seperti yang dimiliki oleh malaikat bersayap. Kau tahu, apa yang lebih aku sukai lebih daripada tatapanmu? Sebongkah hatimu, sebongkah hati yang kini akan mati dalam dekapanku.
Malaikat bersayap hitam pun mendekap hatiku. Menerbangkannya pada lubang hitam angkasa. Membuatnya menjadi puing-puing dalam dimensi lain. Kini, aku tidak lagi memiliki hati. Karena yang aku serahkan bukan hanya sebongkah hati, tapi seutuh hatiku.

Hujan bertambah deras, sangat deras. Baguslah. Kini aku bisa menemukan dua alasan kenapa aku menyukai hujan. Pertama, karena hujan menyamarkan bayanganku yang menatapnya. Dan, kedua, hujan menyamarkan air mataku, yang tulus, sangat tulus, tidak akan cukup waktu untuk mengatakan bahwa air mata ini sangat tulus mencintainya. Malaikat bersayap hitam.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS