BUMI, MATAHARI DAN BINTANG YANG RAPUH
Hari ini, entah kenapa langit tampak begitu hitam tanpa cela. Seperti ada tumpahan kopi yang begitu pekat. Terasa begitu pahit tanpa mengecapnya. Terasa begitu pilu mengingkari rindu. Malam menghisap rinduku, seperti blackhole yang membawa rinduku ke dimensi lain. Mungkin ke suatu dimensi ruang dan waktu yang begitu lalu, tempat dimana aku membuang jauh-jauh hatiku. Hati yang kubuang di masa lalu. Apakah kau merasa hal yang sama, ketika langit tanpa kelap-kelip bintang yang jauh lalu jatuh?
Entah apa yang membuat bumi terletak di sini, matahari sebagai bintang yang paling dekat dengannya, lalu bintang yang lain terletak begitu jauh darinya. Apakah itu semua karena takdir? Terasa getir, takdir seolah tak pernah adil. Kenapa bumi selalu menganggap matahari sebagai sumber cahanya? Tidak tahukah bumi, setitik bintang nan jauh di sana, begitu kuat berpijar, mencoba menembus ruang hampa, menyalurkan cahaya, hanya untuk bumi? Jarak. Sekuat apa pun setitik bintang itu berpijar, matahari mengalahkannya. Hanya karena jarak. Ya, karena jarak.
Keagungan matahari. Mencairkan musim dingin, meluluhkan salju, meniupkan angin kehangatan. Bumi haus dekapan matahari. Bumi menganggap, matahari tak pernah mengingkarinya. Bahkan saat malam, mengutus bulan untuk menyerap cahaya matahari, lalu menumpahkannya dalam langit malam, konon, hanya untuk bumi. Meski malam tanpa bintang, bumi tak peduli. Sungguh tak peduli.
Kelip lemah setitik bintang. Sekuat apa pun berpijar. Hangatnya temusnahkan hitungan tahun cahaya ruang hampa. Tangan-tangan bintang itu pun seperti janin terpapar thalidomide, tampak begitu pendek untuk menyentuh bumi, tak berdaya. Untuk sekian lamanya, setitik bintang itu terus-menerus berpijar, tak gentar oleh waktu yang menua, mencoba menjadi lilin malam. Terus menyinari sekecil apa pun, meski raganya harus meleleh. Terus menyinari sekecil apa pun, meski bumi telah memiliki matahari. Ironis.
Sang waktu membuka gerbang kematian. Meski enggan berhenti berpijar, setitik bintang itu melemah, tidak cintanya, hanya saja cahayanya. Takdir tak hanya mengendalikan jarak, tapi juga kehancuran. Setitik bintang berpijar untuk terakhir kalinya, tampak hanya sebagai kedipan tak berarti dari bumi. Perlahan bintang itu meledak, berteriak memusnahkan dirinya. Apakah bumi mendengar teriakan itu? Tidak. Jarak dan ruang hampa membuat bisu semua itu. Setitik bintang itu pun terjatuh dari lukisan langit malam. Yang tersisa, hanya pusaran debu tanpa cahaya. Setitik bintang yang hilang. Setitik bintang yang rapuh.
Kenapa dia harus menjadi matahari untukmu? Selalu di dekatmu. Kenapa kamu harus menjadi bumi untukku? Terlalu jauh untuk kusentuh. Lalu kenapa aku harus menjadi setitik bintang yang rapuh? Meski sekuat tenaga berpijar hanya untukmu. Takdir. Takdir meletakkan jarak dan siksaan. Entah kenapa hanya untukku.
19 Juni 2010 pukul 01.23
hmmmmmmm....menarik si.....tapi kok diakhiri penjelasannya cuma 1 paragraf si???
23 Juni 2010 pukul 05.04
ya biar penasaran gitu nd ga bosen baca, hax2!
24 Juni 2010 pukul 22.48
bumi tak kan pernah merasa rapuh, jika sang penghuni tak merapuhkannya...begitu juga bintang dan matahari...semua berlalu dan lewat karena detik-detik yang mencekamnya di sepanjang waktu...
kunjungan pertamaku di blog keren ini...^_^ keep in touch ya..thanks a lot..
28 Juni 2010 pukul 03.27
kyaaaa...hontou ni sugoii...visit kesini lagi yax...arigatou...
28 Januari 2013 pukul 07.26
bukan jarak yang menyebabkan suara tidak nyampe.. tapi ruang hampa. jarak juga tidak membuat cahaya menurun. karena dalam ruang hampa bebas hambatan. yang menyebabkan menurun adalah arah dari setiap proton sehingga yang nyampai ke bumi jauh lebih sedikit jumlah protonnya. baik bintang nun jauh disana.. dan bumi itu satu keluarga. terpisah karena keinginan tuhan yaitu ledakan bigbang yang membuat alam semesta memuai menjadi asap ledakan. hebat kamu ma.. tau kalau takdirlah penyebab asal muasalnya mereka terpisah.. two thumbs up..
25 April 2013 pukul 04.08
kleee... puisi gueeee...