SEBUAH PERMAINAN ABU-ABU
Hari ini langit terlihat bimbang. Tidak tampak putihnya awan, tidak tampak hitamnya malam. Langit berwarna abu-abu. Terlihat tidak memilih satu warna. Abu-abu. Seabu-abu perasaanku.
Aku tersenyum saat mengetuk telunjukku pada mouse komputer. Accept. Aku menerima dan akan memulai sebuah permainan. Aku tersenyum abu-abu. Aku tidak seputih yang kau bayangkan, tidak. Aku tidak sepolos itu. Aku tidak sejahat dia yang menyakitiku, tidak. Aku tidak sebejat itu. Aku hanya ingin mewarnai hatiku yang hampa ini dengan hitam dan putih. Terlihat abu-abu. Aku kembali tersenyum. Nanti malam, besok, lusa, tapi tidak selamanya, mari kita mulai permainan ini. Aku berhenti tersenyum, kini aku tertawa, tertawa dengan sangat keras. Keras sekali. Tapi hatiku mendengar tawa yang penuh kebimbangan. Tertawa dengan aura abu-abu.
Aku berjalan menuju sebuah kamar. Asing, benar-benar asing. Meja pendek dengan lembaran-lembaran kertas tak berkualitas, cermin kecil seukuran kartu pelajar dan sisir yang patah. Bocah tak terurus. Tidak seperti suaramu yang sedikit berwibawa. Baiklah, kita saling menipu. Kualihkan pandanganku pada bocah itu, terlihat kesusahan memakai baju. Malas, aku malas membantunya. Ku lihat lemari di dekatnya. Di atasnya terlihat botol minuman keras, aku tidak melihat apa merknya, aku tidak pernah tahu dan tidak mau tahu. Bocah bertampang tak berdosa ini seorang peminum rupanya. Pantas kau begitu mabuk. Mabuk cinta tanpa memandang dengan siapa dia sebenarnya. Kulihat bocah itu lagi. Wajah dengan aura putih. Sikap dengan keangkuhan yang hitam. Perpaduan yang membuat abu-abu. Baiklah, aku mengikuti sebuah permainan dengan kebimbangan. Dan tentunya dengan bocah abu-abu. Aku tidak salah memilih khan?
Kau memintaku selalu datang. Konon merindukanku. Aku pun berkata merindukanmu juga. Ha-ha, aku menertawai diriku sendiri. Sejak kapan aku mengatakan rindu tanpa merasakan degup jantungku? Kita sedang saling menipu khan? Entahlah, sepertinya aku menikmati permainan ini. Lalu kukenakan jaketku dan pergi ke tempatmu. Anggap saja aku sedang mengunjungi bocah gelandangan di pinggir jalan. Sedikit jahanam, kenapa aku berpikir seperti itu? Saat aku melihat ke belakang punggungku, aku melihat sayap kecil yang tumbuh. Sayap berwarna hitam. Sebuah jawaban.
Membosankan. Aku tidak pernah merasakan debaran apa pun saat kau ada di dekatku, meski 1 mm di depanku. Memuakkan. Kau tidak pernah berkata jujur di hadapanku. Omonganmu kosong. Bosan dan muak. Alasan yang bisa mengakhiri permainan ini. Hari itu hujan menahanku di tempatmu. Irama hujan mengalahkan degup jantungku. Atau lebih tepatnya, jantungku enggan berdegup kencang meski kau menghangatkanku. Sepintar apa pun kau, kau masih bocah di mataku. Kuputuskan untuk melawan hujan. Aku tidak ingin berlama-lama di tempatmu, tidak juga bersamamu.
Hari itu awan malam menumpahkan hujan bersama dengan langit hitam yang bergitu pekat, tanpa bintang dan tanpa pecundang. Aku tahu kita memulai permainan. Dan aku, hanya aku yang mengakhirinya! Bocah abu-abu tidak untuk dikenang, seonggok pecundang!
Jika kau menganggap matamu akan menjebakku
Lihat mata hatiku
Hitam, hitam pekat dibandingkan apa pun
Berpikirlah sebelum mengajakku bermain
Jika kau merasa perasaanmu rapuh
Dan harus kujaga, lihat sebongkah hatiku
Luka-luka tak bertuan
Berpikirlah sebelum menyakitiku
Jika kau merasa wajahmu beraura putih
Lihat sayap yang tumbuh dari punggungku
Hitam, hitam pekat dibandingkan apa pun
Berpikirlah sebelum mengatakan ”aku mencintaimu”
9 Februari 2010 pukul 21.03
abu-abu..
syap hitam itu masih bertumbuh kah?
10 Februari 2010 pukul 02.21
mari kita bermain gundu..
^^
13 Februari 2010 pukul 20.19
@gadis coklat: mungkin dari hitam bakalan jadi abu2 tyuz putih lagi, hax2!
@panni: hah? heh? hoh?